Hukum Alam Sebagai Dasar Moralitas

Oleh: Junaidin S.Pd.,M.Psi

Dosen Psikologi Universitas Reknologi Sumbawa

Dari sepanjang sejarah beradaban manusia, banyak filsuf dan para pakar berpendapat bahwa pedoman etis yang memadai bagi manusia adalah “Mengikuti Hukum Alam”.

Kata definitif pada teori bahwa manusia “seharusnya” mengikuti hukum alam, atau bahwa dia seharusnya memandan apa saja yang terjadi di dalam “alam” sebagai pedoman moralnya, seperti yang di kemukakan oleh John Stuart Mill dalam karyanya tentang Natural  (Alam) pada tahun 1854 namun belum sempat di terbitkan sampai menembuskan nafas terakhir pada tahun 1874, sesudah wafatnya. Mill mengatakan bahwa Alam memiliki dua makna dasar/prinsip, kata tersebut menunjukan keseluruhan sistem segalah sesuatu, dengan jumlah keseluruhan sifatnya, termasuk hubungan sebab akibat, atau menunjukan segalah sesuatu sebagaimana adanya jika di sana tidak ada campur tangan manusia. 

            Arti yang pertama: ajaran bahwa manusia seharusnya mengikuti alam tidaklah bermakna. Manusia tidak memiliki kemampuan untuk berbuat sesuatu yang lain. Semua tindakannya secara niscaya sesuai dengan atau “mematuhi”  salah satu atau lebih hukum alam fisik atau mental. Dalam arti yang lain ajaran bahwa manusia seharusnya mengikuti alam yaitu  seharusnya membuat gerakan spontan segalah sesuatu sebagai model bagi  tindakanna yang di sengaja, Mill juga berpendapat sebagai bukan hanya irasional melainkan juga moral. Irasional karena semua tindakan manusia, apapun itu bentuknya mengandung makna mengubah gerakan alam spontan, dan semua tindakan yang berguna mengandung makna untuk memperbaikinya. Amoral karena alam itu dapat amoral, desruktif, dan alam itu dapat kejam.

Kita adalah masing-masing tumbuh dalam  dunia yang telah memiliki pertimbangan moral. Pertimbangan ini dilalui setiap hari oleh setiap orang dengan memperhatikan perilaku setiap orang lain. Kita masing-masing bukan hanya menemukan diri sendiri menyetujui atau menolak bagaimana orang lain bertindak, melainkan menyetujui atau menolak tindakan tertentu, dan bahkan aturan atau prinsip tindakan tersebut. Begitu mendalamnya hal ini berlangsung sehingga kebanyakan diantara kita bahkan menerapkan pertimbangan ini pada perilaku kita sendiri, dan menerima atau menolak perilaku kita sendiri sejauh kita mempertimbangkan untuk di sesuaikan dengan prinsip atau standar yang dengan itu kita mempertimbangkan orang lain. Bila kita mnegalami kegagalan, dalam pertimbangan kita sendiri, dengan mempertahankan kode moral yang biasanya berlaku bagi orang lain, kita merasa “bersalah” atau “hati nurani” menyalahkan kita.

Maka dalam kebenaran yang bersahaja, hampir semua hal yang menjadi gantungan manusia atau yang memenjarakan karena melakukan yang satu dengan yang lain, merupakan penampilan sehari-hari yang bersifat alamiah. Membunuh adalah tindakan yang paling kriminal di akui oleh hukum alam, alam sesekali melakukan untuk setiap makhluk hidup, dan didalam proporsi kasus yang luas, sesudah memperpanjang siksaan hanyalah monster terbesar yang pernah kita baca senantiasa mengakibatkan penderitaan pada makhluk yang lain. Jika, karena syarat yang arbitrer, kita menolak untuk memperhitungkan sesuatu sebagai pembunuh kecuali apa yang membatasi istilah tertentu yang  di anggap diberikan pada kehidupan manusia, alam juga melakukan hal ini kepada semuanya kecuali pada presentasi kecil kehidupan, dan melakukan hal ini dengan segalah cara, kekerasan ataupun dengan kebusukan, yang di situ manusia yang paling buruk  mengambil hidup manusia yang lain. Alam menyusahkan manusia, menghancurkan mereka seolah-olah dengan membaliknya, melemparkan mereka untuk dilahap binatang buas, membakar mereka hingga mati, melempari mereka dengan batu seperti pada para pertama di jaman Kristen, membuat mereka kelaparan, kedinginan, meracuni mereka yang cepat atau lambat akan membawa pada kemusnahannya, dan ribuan kematian lain yang tersembunyi menghadang, seperti kebengisan licik yang dilakukan terhadap para Nabi ataupun Domitian yang tidak pernah terlampaui.

Semua yang dilakukan alam ini dengan sangat sombong mengabaikan kemurahan hati dan keadilan, mengosongkan tangkainya yang terbaik dan paling mulia dengan cara yang paling hina dan paling buruk atas siapa yang terlibat dalam urusan yang tertinggi dan paling berharga, dan sering sebagai kosekuensi langsung dari tindakan yang paling mulia, dan hal itu mungkin hampir-hampir dibayangkan sebagai hukuman bagi mereka. Dia habis memberondong segalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung bagi kesehjahteraan seluruh manusia, mungkin prospek ras manusia unruk generasi yang akan datang, dengan sedikit penyesalan karena kematian merupakan membebasan bagi diri mereka sendiri, atau sebagai rahmat bagi mereka yang mendapat pengaruh yang berbahaya.

            “Begitulah perlakuan alam atas kehidupan manusia”

            Tentunya inilah yang merupakan dasar keseluruhan bagi yang disebut dengan moral dan etika kebijaksanaan (prudential). Kebijaksanaan itu, dalam kenyataannya, merupakan  seni hudup secara bijaksana.

            Etika kebijaksanaan merupakan bagian terbesar dari seluruh etika. Namun seluruh etika itu bersandar pada dasar yang sama. Karena manusia mendapati bahwa etika tersebut memperkembangkan kepentingan sendiri dalam jangka panjang bukan hanya menahan diri untuk melukai sesama manusia, melainkan karena mendorong kerja sama antar manusia. Kesadaran implisit, jika bukan eksplisit, atas kerja sama sosial inilah yang pada akhirnya menjadi dasar pada kode moral maupun aturan perilaku kita. “keadilan” itu sendiri  yang nanti akan kita lihat secara lebih jelas mengandung makna kepatuhan pada aturan atau prinsip yang dalam jangka panjang banyak menjaga dan mendorong kerja sama sosial.

Kita akan menemukan juga, ketika kita menggali persoalan tersebut lebih lanjut, bahwasannya tidak ada konflik yang tidak dapat didamaikan antara egoisme dan altruisme, antara sikap egois dan sikap penuh kebajikan, antara kepentingan jangka pajang individu dan masyarakat. Tentunya kerja sama sosial itu sendiri merupakan sarana. Hal itu merupaka sarana bagi tujuan yang tidak pernah dapat dicapai sepenuhnya, yaitu tujuan untuk memaksimumkan kebahagiaan dan kesejahteraan moral dan spiritualitas umat manusia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *