“Brain Washing dan Terorisme “Fenomena Psikologis”

OLEH : Junaidin,S.Pd.,M.Psi

Sumbawa. 3. Juli 2023

“Apakah dunia selalu mendiami sebua dunia seperti saat ini,  dimana Cinta akan ketentraman dikacaukan oleh penindasan?”

Kecemasan traumatis yang di alami oleh Bangsa saat ini merupakan “trauma ekstreme publik” pemaknaan idiologi perilaku (psikologis) ektrimisme dan radikalisme, termasuk tentang nilai dan konsep bagaimana cuci otak hingga tertanam sampai pada akar dogma yang menjadi paham rasionalis terhadap kelompok-kelompok yang berkibar mengatasnamakan TUHAN & AGAMA.

Arti umum cuci otak yang didefinisikan sebagai sebuah usaha mengubah pikiran secara radikal sehingga pemilik pikiran tersebut menjadi boneka hidup sebuah robot manusia dan kejahatan tersebut dilakukan tanpa terlihat dari luar. Tujuannya adalah menciptakan sebuah mekanisme dalam darah dan daging, dengan keyakinan yang baru dalam proses berpikir baru yang diselipkan ke dalam tubuh  seseorang atau kelompok. Pemaknaan penulis sendiri tentang cuci otak adalah sebagai usaha, cara, dan sebuah proses yang tersistematis menanamkan tentang keyakinan terhadap nilai atau idiologi oleh idiolog terhadap individu maupun kelompok yang menusuk kedalam kesadaran, kognitif dan jiwa seseorang.  

Fenomena yang telah dipentaskan diberbagai daerah diseluruh bagian Nusantara tentang tindakan radikalisme dengan mengorbankan jiwa, raga, harta benda serta masa depan anak-anak, itu menjadi sebuah agenda konspirasi menanamkan kekuatan konformitas keyakinan dan propaganda dengan tujuan mengahancurkan objek-objek sasaran yang dianggap sebagai lawan idiologi yang diyakini. Pola pikir radikal individu dan kelompok teroris garis keras banyak menyimpan duka yang mendalam, diskriminatif, trauma psikologis yang berkepanjangan akibat doktrin atau cuci otak yang menekankan kekuatan dalam mental, ini sebagai proses yang unik.

Kekuatan cuci otak bersifat lebih ambisius, dan lebih koersif dari pada persuasif biasa. Cuci  otak juga sebuah impian, visi mengenai kontrol utama terhadap perilaku dan juga pikiran, memiliki keahlian rahasia yang terasosiasi erat dengan teknologi mekanistik dan modern. Hal ini menimbulkan penyatuan perilaku maupun suasana hati mereka (Teroris) sebuah proses yang disebut sebagai “penularan emosional”.

Perilaku radikalisme (Bom bunuh diri) yang dilakukan oleh sebagian individu atau kelompok sebagai bentuk motivasi internal dan eksternal yang menjadi suatu keyakinan yang kuat pada nilai keimanan yang berdasarkan landasan religius keagamaan yang menjadi anggapan publik dengan istilah tindakan “TERORISME”. Terorisme sudah menjadi masalah yang serius ditangani secara Universal (Global) sama sepertinya dengan kasus-kasus kriminalitas yang lain (Narkoba, Kekerasan Seksual, Korupsi pembunuhan, dan sebagainya). Penanganan serius harus dilakukan secara multidimensi dan multi sektor bagi semua Bangsa/Negara merasa berkepentingan untuk mencegah dan memberantas terorisme karena mengancam peradaban dan siklus kemanusiaan.

Keberadaan tentang kesejahteraan Manusia merupakan elemen yang selalu diutamakan pada atataran nilai dan norma, maupun hukum. Di bidang keamanan ,  memunculkan perspektif baru mengenai ancaman tindakan terorisme. Hal ini yang lalu direspon berbagi negra dengan berbagai policy (kebijakan) bidang keamanan dalam negeri memunculkan UU Anti terorisme, meski menimbulkan pro dan kontra. Di tataran Internasional, dengan dipelopori atau penggagas utamanya Amerika Serikat upaya pemberantasan terorisme mendapatkan penguatan dengan adanya beberapa kasus bom di Indonesia selama kurung waktu (seperti Bom Bali, Sarina, kampung melayu dan Bom Gereja di Surabaya) pada bulan mei 2018 silam.

Bagaimana tidak.?

Sebuah anggapan yang tertanam dalam nurani bahwa, menyamakan aksi Bom syahid dengan bom bunuh diri.  

Oleh sebab itu, fenomena psikologis yang dipertontonkan lewat periku radikalisme tersebut harus benar-benar perhatian khusus dalam pandangan keilmuan di bidang psikologi. Penulis sendiri mencoba mengintegrasikan dengan konsep beser Martin, E. Seligman PSIKOLOGI POSITIF” yaitu “Flourishing”.

Arti “Flourishing” sendiri adalah keadaan seseorang, suatu organisme, atau suatu kelompok, dimana ia menunjukan perkembangan yang subur dan fungsi-fungsinya berjalan dengan sangat baik. Sepintas konsep ini sangat mirip dengan konsep aktualisasi diri yang merupakan salah satu konsep psikologi “Humanistik” (Abraham Maslow). Tetapi ada perbedaan besar diantara kedunya: “Flourishing” ditentukan oleh lima aspek psikologis yaitu (“Positive Emotions, Engagement, Positive Relationship, Meaning Of Life, dan Accomplishment”) “PERMA”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *