“Setauku, di Kota Jogja biaya hidup murah” ungkapnya dengan nada sedikit menyinggung.
“Tapi, entah kenapa jatah bulanannya terus saja membengkak”. Sambungnya sambil menatap remeh Iyyah yang juga duduk di dekatnya. “Na.e lohi ra.a na”. Umpatnya dalam bahasa Bima.
Umpatan tidak manusiawi itu terus saja dilontarkannya semenjak ia selesai kuliah dan meninggalkan Iyyah sendirian di Kota Daeng. Kekesalannya terus saja menjadi sejak Iyyah melanjutkan studi di Kota Gudeg. Setiap ada mahasiswa yang pulang kampung dia selalu mendapat cerita bahwa kota di mana adiknya mengenyam pendidikan sekarang, biaya hidup murah. Makanan murah. Kebutuhan dari mulai pakaian dan lain-lain sangat terjangkau. Tetapi, kenapa sang adik seolah tak pernah berhenti meminta uang saku dari ibu. Padahal dulu, waktu ia kuliah, lima ratus ribu cukup untuk biaya hidup satu bulan. Sekarang, adiknya bahkan bisa meminta uang saku mencapai tiga kali lipat dari jumlah yang didapatkannya dulu.
Iyyah hanya diam mendengar ocehan kakaknya. Dibenaknya, “dia kakakku. Membantahnya berarti perang”. Selain itu, terjerat dalam lingkaran perdebatan hanya akan menunjukkan siapa yang kalah dan siapa yang menang. Iyyah yang tak pandai berdebat hanya akan memilih diam, karena dia sadar pasti akan kalah jika melawan kakaknya. Lagipula, hal ini tidak hanya terjadi sekali. Sebelumnya, kepada siapa saja yang bertanya soal masuk perguruan tinggi negeri, dia terus mengulang cerita itu. Cerita dimana adiknya yang begitu boros dan tiada habisnya meminta uang saku.
Iyyah mulai didekati warga kampung sejak dia diterima diperguruan tinggi negeri. Hal itu menjadi satu hal yang istimewa karena tidak banyak orang yang mendapatkan kesempatan itu. Sejak kelulusannya itu, Iyyah menjadi salah satu warga kampung yang dibicarakan. Jika ada adik kelas yang juga ingin masuk perguruan tinggi negeri, mereka tidak sungkan menghubungi dan menemui iyyah untuk bertanya tips dan cara agar lulus di kampus negeri. Tak jarang mereka menemui kakak Iyyah jika tidak bertemu dengannya. Di kesempatan itulah Kakak Iyyah akan bercerita tentang keburukan adiknya. Bahkan di depan Iyyah juga dia tak sungkan untuk bercerita. Awalnya, dia menyebut uang saku sejumlah dua kali lipat dari uang saku sang kakak. Semakin ke sini, jumlah yang disebut terus bertambah. Seperti tiada hal lain yang dapat ia ceritakan soal sang adik.
Begitulah Kakak Iyyah. Iyyah yang tak banyak bicara pun hanya bisa memilih diam. Hubungannya dengan sang kakak memang tidak terlalu rukun. Diam menjadi satu-satunya pilihan untuk menghadapi sang kakak. Padahal, dalam empat bersaudara itu Iyyah menjadi salah satu anak yang paling penurut, jarang membantah meski sedikit pemalas. Orang tua mereka adalah petani. Sejak di bangku sekolah, Iyyah hanya fokus belajar. Meski tidak sering menjadi juara kelas, Iyyah menjadi salah satu siswa yang cukup diperhitungkan. Sering kali, belajar dijadikan Iyyah sebagai alasan untuk tidak ikut membantu keluarga di sawah. Memang, dari semua anggota keluarga itu hanya Iyyah yang enggan membantu pekerjaan di sawah. Sang Ibu, selalu mendukung apa yang dilakukan Iyyah. Meski tak ikut membantu di sawah, Ibu senang melihat Iyyah yang rajin belajar dan tak jarang mendapat juara meski bukan juara pertama. Ibu Iyyah adalah orang tua yang mendukung potensi anaknya. Baginya, jika anak tak suka bekerja di sawah, pilihannya adalah bekerja di tempat yang lebih nyaman dan untuk mencapai itu, belajar menjadi salah satu carauntuk mencapainya.
Sikap ibu kepada Iyyah membuat sang kakak kerap meremehkannya. “Anak manja. Mau jadi apa kamu? Kena matahari saja tidak mau. Orang tuamu hanya petani. Tidak perlu berlagak seperti anak pegawai”.
Sikap sang kakak semakin saja menjadi-jadi karena Iyyah selalu mendapat dukungan dari kakak sulungnya. Sebagai anak bungsu, Iyyah menjadi sedikit manja. Anggota keluarga selalu menganggapnya anak kecil meski sekarang Iyyah menjadi salah satu mahasiswa S2 di salah satu kampus ternama di Indonesia. Hal itu, semakin saja menambah kejengkelan sang kakak kepada Iyyah. Iyyah selalu mendapatkan kesempatan yang begitu membanggakan keluarga, sementara kakak Iyyah hanya berkutat dengan profesinya yang hanya tenaga sukarela di salah satu rumah sakit di daerahnya. Selain itu, Iyyah selalu mendapat sokongan dana yang cukup dari keluarga tanpa Iyyah perlu memohon dan membujuk rayu sang ibu. Selain dari Ibu, suntikan uang saku juga datang dari sang Kakak Iyyah yang sulung. Ia menyimpan harapan yang begitu besar kepada Iyyah, hingga jika ada rejeki nomplok, Iyyah selalu kebagian jatah. Hal itu membuat kakak menjadi semakin geram terhadap Iyyah. Iyyah selalu mendapatkan apa yang dia mau hanya dengan rajin belajar, sedangkan kakak harus berpanas-panasan di sawah untuk itu. Pekerjaannya di rumah sakit juga tidak begitu menguntungkan. Dia hanya mendapat gaji tiga bulan sekali dan bahkan tidak cukup untuk mengganti uang bensin dan makan siang.
Kala itu libur semester. Seperti biasa, Iyyah pulang dengan menenteng beberapa barang kecil sebagai ole-ole untuk keponakan-keponakannya. Melihat itu, sang kakak menatap dengan muka yang begitu masam.
“Sok kaya”. Ujarnya ketus. “Kau kira ibumu banyak duit? Kau itu pergi kuliah. Bukan bekerja. Menghabiskan uang saja. Untuk apa barang-barang tak penting ini? Pantas saja minta uang terus”. Sambungnya dengan nada yang cukup tinggi.
“Kemarin kakak memintaku membelikannya celana baru. Uangnya ada lebih. Makanya saya belikan pakaian anak-anak”, jawab Iyyah dengan nada tenang.
“Alasan. Paling minta ibu”.
“Terserah”. Ujar iyyah berusaha menutup pembicaraan.
“Tasmu bagus? Minta berapa ke ibu untuk membelinya? Aku bawa yah, lumayan buat kerja. Sekalian sama sepatunya”.
“Gak mau! Ini aku beli sendiri, gak minta ibu”.
“Uang dari mana?”
“Sudah kubilang dari kakak”.
Iyyah bergegas masuk kamar. Merapikan beberapa barang lalu menuju rumah kakak Sulungnya mengantar titipan celana dan baju untuk keponakan-keponakannya.
“Pasti mau cari muka lagi. Cepatlah! Mumpung dia lagi banyak duit. Kemarin baru saja panen”.
Iyyah pergi tanpa menjawab sepatahkatapun.
“Assalamualaikum”.
“Waalaikum salam. Sudah sampai rupanya”. Jawab kakak ipar Iyyah.
“Bibi…”. Seru keponakan Iyyah menyambut kedatangannya.
Semenjak Iyyah berkuliah di luar kota, seperti sudah menjadi kebiasaan jika pulang liburan membawa buah tangan untuk keponakannya. Ketika menjadi mahasiswa S1, Iyyah mendapat sokongan dana dari beasiswa yang diperolehnya. Dan sekarang, ketika melanjutkan studi S2, Iyyah selalu mendapat uang saku dari kakak Sulung sebagai imbalan telah membelikan barang-barang kebutuhannya. Maklum, daerah tempat tinggal Iyyah jauh dari pusat kota. Hingga untuk belanja keperluan seperti pakaian dan lain-lain, sang kakak memilih untuk minta tolong Iyyah. Selain karena harganya yang juah lebih murah, barang-barangnya lebih berkualitas.
“Sudah sampai rupanya”. Sapa kakak sulunngnya yang baru saja keluar dari kamar mandi.
“Iya kak. Ini titipan kakak. Semoga gak salah beli”. Ujarnya dengan sedikit senyuman dan cemas, khawatir kalau barang yang dibelinya tidak sesuai keinginan sang kakak.
“Pasti benar. Selama ini kan tidak pernah salah. Terus, itu apa?” Tanya sang kakak.
“Ole-oleh untuk Aulia”. Jawabnya malu-malu.
“Lah, Bibi gak dapat komisi dong?” Tanya iparnya menggoda Iyyah.
“Ada kak. Saya belikan tas dan sepatu buat kuliah. Hehe…”
“Terima kasih. Celananya bagus”.
Kakak beranjak keluar rumah hendak ke sawah, meninggalkan Iyyah dan kakak ipar bersama ponakan. Kakak Sulung Iyyah memang agak dingin. Tidak banyak bicara. Sesekali jika duduk bersama dengan Iyyah, barulah dia akan mengungkapkan harapannya. Mimpinya mewujudkan keinginan sang ibu untuk menyelesaikan pendidikan Iyyah.
“Aulia suka?” Tanya Iyyah kepada ponakannya.
“Suka. Terima kasih, Bibi”.
“Sama-sama sayang”.
“Ada apa dengan kakakmu di rumah? Kau berkelahi lagi?” Tanya kakak ipar kepada Iyyah. Ia selalu tahu isi hati Iyyah yang kesal terhadap kakaknya yang suka menyudutkannya.
“Tidak apa kak. Hanya sedikit kecewa”.
“Maklumi saja. Sudak tabiatnya seperti itu”. Kakak ipar berusaha menenangkan Iyyah.
“Dimaklumi tapi semakin melunjak. Terus saja nyercos tanpa tahu yang sebenarnya. Tidak mau kalah”. Ujar Iyyah dengan suara sedikit gemetar.
“Bersabarlah. Dilawan juga percuma. Biarkan saja”
“Entahlah kak. Sampai kapan dia akan seperti itu? Tak pernah menganggap orang lain punyak hak yang sama seperti dia. Bicara seenaknya seperti dia. Menuduh ini itu. Seolah hanya dia yang sempurna. Orang lain tak berhak berbicara”. Mata Iyyah mulai berkaca-kaca seperti tak lagi dapat membentuk sesak yang mengisi dadanya. Namun, masih berusaha menahan amarahnya.
“Saya heran, apa yang ada dalam benaknya? Umpatan selalu keluar dari mulutnya yang seperti orang tidak pernah sekolah itu. Mengatai saya boros. Beli ini itu menghabiskan uang ibu. Tapi, toh pada akhirnya barang-barang yang saya beli semua diembatnya. Nangkanya dia makan semua, getahnya disisakan untuk saya. Coba kakak lihat dirinya! Dari atas sampai bawah, barang-barangku yang menempel di tubuhnya. Jilbab, baju, sepatu, tas, dan aku dibilangnya boros. Padahal dia menikmati keborosanku. Hasilnya dia yang pakai. Kenapa dia tidak diam saja ketika saya beli ini itu? Kenapa harus cerita sana sini?” Tangisnya pun pecah.
Kakak ipar memeluknya. Berusaha menenangkan Iyyah yang sedang meluapkan kekesalannya. Diambilkannya segelas air dan menyuruh Iyyah minum agar hatinya sedikit lebih tenang.
Rahmin Meilani Putri
Sumbawa, 17 Oktober 2022