waktu MK psikolinguistik, seorang mahasiswa bertanya kepada dosennya

“saya tidak punya tenaga untuk mencaci atau membanting barang ketika marah namun biasanya saya menulis”

dosenpun menjawab,

“kamu pikir menulis tidak membutuhkan emosi?”

“justru saat menulis itulah emosi meluap-luap. menulis adalah cara bijak meluapkan kemarahan, ketika menulis emosi seseorang yang tertimbun dapat tersalurkan dengan baik”

 

gambar dari google

jawabannya juga langsung membuat satu kelas sadar, bahwa emosi ditransformasikan dalam bentuk tulisan membuat kita paham bahwa di era digital ini, kemarahan bertransformasi dalam bentuk status media sosial dan sebagainya.

ketika kita melihat beberapa karya seperti karya-karya Hamka maka kita akan paham bahwa tulisan-tulisan Hamka merupakan bentuk luapan emosi mengenai protes akan praktik-praktik rasisme, seperti dalam novel tenggelamnya kapal Van der wijck dan seterusnya. ST Takdir Alisjahbanna juga menulis Layar Terkembang sebagai bentuk uraian sibling rivalry antara tokoh utama dan adiknya. juga sebagai bentuk protes terhadap tradisi yang tak seharusnya membebani laju perkembangan kehidupan masyarakat.

apakah anda cukup emosi untuk sebuah keadaan? cobalah menulis dan menuangkannya dalam bentuk karya yang menumenta