Sudah berjalan satu pekan (7 hari) masa libur bagi anak-anak, khususnya peserta didik baik tingkat menengah atas (SMA/SMK/MA, dan sederajat) hingga jenjang tingkat paling bawah, taman kanak-kanak (TK/PAUD). Momentum wisuda atau perayaan, khususnya bagi anak-anak usia dini (TK/PAUD) masih terngiang-ngiang oleh seorang ibu yang anaknya sekolah di salah satu TK – penulis tidak sebutkan identitas sekolah, desa, atau pun keluarganya. Walaupun sekolah tidak membebankan biaya pelaksanaannya, namun tetap saja orang tua diminta untuk memakaikan baju adat, memakai toga dan anak berhias seperti layaknya orang dewasa saat menikah atau saat orang wisuda.
Pemerintah sendiri sebenarnya telah membuat regulasi yang sifat dari kegiatan wisuda/perayaan pada jenjang pendidikan PAUD/TK, SD, SMP, hingga SMA adalah “opsional” di mana kegiatan tersebut harus dibicarakan dengan orang tua komite sekolah sebagaimana dalam penjelasan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016. Tentu saja, peraturan tersebut di padang sebelah mata oleh banyak pihak, khususnya satuan pendidikan karena masih “samar”, tidak tegas dan cenderung ada “kompromi” antara pihak sekolah dengan “komite sekolah”.
Wisuda, oleh sebagian besar orang tua menganggap sebagai hari bahagia bagi seorang anak karena berhasil menyelesaikan masa studi, dan sang anak akan siap bekerja dan mendapatkan pekerjaan-pekerjaan baru sesuai dengan apa yang telah didapatkan selama kuliah. Pernyataan ini tentu saja umum terdengar dan dimaklumi oleh banyak orang tua karena kata “wisuda” sendiri melekat pada tingkatan perguruan tinggi. Melekat pada seorang yang telah disematkan gelar akademik. Gelar yang di nanti cukup lama, menguras tenaga, waktu, pikiran, termasuk materi (finansial) yang tidak kurang.
Ungkapan pemaknaan wisuda seperti di atas sejalan dengan definisi yang disebutkan dalam KBBI Daring (2016) yang menyebut wisuda “peresmian atau pelantikan yang dilakukan dengan upacara khidmat: para sarjana yang baru lulus menghadiri acara — bersama dengan orang tua mereka”. Dengan spesifik, KBBI secara konkret mencontohkan definisi pada kata “sarjana” sebagai gambaran atas makna wisuda. Sarjana sebagai sebutan orang yang pandai, ahli dalam ilmu pengetahuan; gelar strata satu di perguruan tinggi. Dalam situasi kekinian, penggunaan istilah wisuda telah banyak digunakan pada kegiatan-kegiatan kependidikan, namun umumnya wisuda melekat pada kelulusan di jenjang perguruan tinggi.
Terlepas dari istilah wisuda yang telah banyak digunakan dalam berbagai kegiatan pelantikan, upacara, khususnya di jenjang pendidikan, namun dalam konteks PAUD/TK penggunaan istilah wisuda tetap tidaklah etis dan cenderung eksploitasi. Etis dimaknakan karena wisuda di jenjang usia kanak-kanak sebagai usia pertumbuhan dan perkembangan di mana anak-anak sekolah hanya sebagai ruang untuk bermain. Aktivitas bermain harus lebih dominan. Sekolah PAUD/TK dalam hal ini hanya memfasilitasi ragam dan jenis bermain dan pola pendampingannya. Sekolah menghindari pembelajaran yang arahnya pada aspek kognitif, seperti membaca, berhitung atau sejenisnya, penekanan pada aspek afektif dan psikomotorik. Eksploitasi diartikan karena praktik-praktik wisuda yang selama ini terlihat dan terjadi, menjadi konsumsi masyarakat lebih banyak pada pemborosan, memunculkan stratifikasi sosial, baik yang tampak pada anak mike up ‘tata rias’ sang anak atau orang tua yang mendampinginya.
Dalam fase perkembangan, rata-rata usia anak usia dini yang selesai dari PAUD/TK sudah memasuki usia 6 tahun. Artinya, ini adalah fase transisi dari kanak-kanak awal ke masa kanak-kanak pertengahan dan akhir, sehingga orang tua selama di rumah akan semakin ekstra dalam membimbing dan mengarahkan agar anak-anak mulai melakukan pekerjaan yang bersifat fisik, mulai mengarahkan keteraturan secara bertahap, hingga membangun jiwa kepekaan terhadap simbol-simbol yang ada di lingkungan sekitar. Di sini, orang tua tidak berhenti tugasnya sebagaimana makna wisuda yang melekat pada umum untuk jenjang perguruan tinggi. Karenanya, dalam konteks wisuda atau peresmian, atau apa pun nama yang disematkan, tidaklah relevan untuk diadakan, apalagi ditampilkan atau dibuatkan panggung dengan menyebutkan peringkat atau nominasi anak dan seterusnya. Hal ini karena usia pertumbuhan dan perkembangan anak-anak sangat beragam, tergantung pada lingkungannya, pendidikan orang tua, dan pola asuh keluarga.
Euforia (perasaan bahagia dan senang) orang tua dalam masa transisi anak usia dini di tingkat PAUD/TK haruslah di ubah pada level yang lebih substantif; sesuai dengan kebutuhan orang tua dalam melakukan pendampingan; bersifat paradigmatis, termasuk dalam pelaksanaan akhir (masa transisi anak-anak), misalnya: dengan Deks Evaluation: orang tua didudukkan, diberikan gambaran, pemahaman, dan penjelasan dari semua komponen penilaian terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan anak selama menjalani proses pendidikan. Di dalamnya berisikan proses perkembangan anak dari semua aspek, misalnya segi kognitif, afektif atau psikomotorik, dan aspek-aspek lain yang dibutuhkan. Melalui pola-pola seperti itu, euforia yang didapatkan orang tua menjadi euforia (kebahagiaan) yang produktif, bukan semu dan sejalan semangat dalam pengasuhan orang tua di masa transisi anak.