Pengertian Cyber Law
Cyber Law adalah aspek hukum yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orangperorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan tekhnologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan memasuki dunia cyber atau maya. Cyber Law ini merupakan istilah yang berasal dari cyberspace law.
Istilah hukum diartikan seabagai padanan dari kata cyber law, yang saat ini secara international digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan TI. Istilah lain yang juga digunakan adalah Hukum TI (Law of Information Teknologi), Hukum dunia maya (Virtual Word Law), dan Hukum Mayantara.
Secara Akademik, Terminologi “cyber law”belum menjadi teknologi yang umum. Terminologi lain untuk tujuan yang sama seperti The Law of Internet, Law and The Information Superhighway, Information Technologi Law, The Law of Informaton, dan lain – lain.
Jonathan Rosenoer membagi ruang lingkup Cyber Law dalam beberapa hal diantaranya :
Copyright (hak cipta), Trademark (hak merek), Defamation (pencemaran nama baik), Hate Speech (penistaan, penghinaan, fitnah), Hacking, Viruses, Illegal Access, (penyerangan terhadap komputer lain), Regulation Internet Resource (pengaturan sumber daya internet), Privacy (kenyamanan pribadi), Duty Care (kehati-hatian), Criminal Liability (kejahatan menggunakan IT), Procedural Issues (yuridiksi, pembuktian, penyelidikan, dll.), Electronic Contract (transaksi elektronik), Pornography, Robbery (pencurian lewat internet), Consumer Protection (perlindungan konsumen), dan E-Commerce, E-Government (pemanfaatan internet dalam keseharian)
Tujuan Cyber Law
Cyber Law sendiri diperlukan untuk menanggulangi kejahatan Cyber. Cyber law sendiri sangat berkaitan dengan upaya pencegahan tindak pidana, ataupun penanganannya. Cyber law akan menjadi dasar hukum untuk proses penegakan hukum dalam sarana elektronik dan computer. Dengan kata lain, cyber law sangat dibutuhkan karena Menurut pihak yang pro terhadap Cyber Law, sudah saatnya Indonesia memiliki Cyber Law, mengingat hukum-hukum tradisional tidak mampu mengantisipasi perkembangan dunia maya yang pesat.
Mengenal Cyber Law dan Aturannya
Setiap negara yang memfasilitasi kehidupan bernegara dengan penggunaan sistem elektronik dan internet yang maju, secara tidak langsung perkembangan cyber law di dalamnya turut maju.
Undang-undang yang mengatur mengenai Teknologi Informasi ini di antaranya:
- UU Hak Cipta No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
- UU Informasi dan Transaksi Elektronik No. 11 Tahun 2008 tentang Pornografi di Internet, Transaksi di Internet, dan Etika Pengguna Internet
Cyber law atau UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) disahkan oleh DPR pada tanggal 25 Maret 2008. UU ITE terdiri dari 13 BAB dan 54 pasal yang mengupas secara jelas aturan bermain di dunia maya dan transaksi yang terjadi di dalamnya.
Secara garis besar terdapat lima pembahasan cyber law di setiap negara, yaitu:
- Information security, menyangkut masalah keotentikan pengirim atau penerima dan integritas dari pesan yang mengalir melalui internet, dalam hal ini diatur masalah kerahasiaan dan keabsahan tanda tangan elektronik.
- Online transaction yang meliputi penawaran, jual beli, pembayaran hingga pengiriman barang melalui internet.
- Right in electronic information, mengenai hak cipra dan hak-hak yang muncul bagi pengguna maupun penyedia konten.
- Regulation information content, perangkat hukum yang mengatur sejauh mana konten yang dialirkan melalui internet.
- Regulation online contact, tata krama dalam berkomunikasi dan berbisnis melalui internet termasuk perpajakan, restriksi ekspor-impor kriminalitas dan yurisdiksi hukum.
Sedangkan terkait dengan penentuan hukum yang berlaku, dikenal beberapa asas yang biasa digunakan, di antaranya:
- Subjective territoriality, hal ini menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan yang dilakukan dan penyelesaian tindak pidana dilakukan di negara lain.
- Objective territoriality, menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum akibat sebuah perbuatan terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan.
- Nationality, menentukan bahwa negara mempunyai yurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
- Passive nationality, menekankan yurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.
- Protective principle, menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya yang umumnya dihunakan jika korban adalah negara atau pemerintah.
- Universality, asas ini memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan, lalu kemudian asas ini diperluas hingga mencakup kejahatan terhadap kemanusiaan dan terus dikembangkan untuk kejahatan sangat serius berdasarkan perkembangan hukum internasional.
Contoh Kasus Yang Berkaitan Dengan Cyberlaw
Contoh kasus dalam kejahatan cyber adalah kasus yang dialami oleh Wakil Ketua MPR periode 2009-2014 Lukman Hakim Saifuddin, di mana e-mail beliau dibajak oleh seseorang untuk mendapatkan kepentingan dengan sejumlah uang dengan mengirimkan surat kepada kontak-kontak yang ada di e-mail milik beliau.
Lukman Hakim Saifuddin memiliki hak sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) yang mengatakan bahwa “setiap orang yang dilanggar haknya sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.”
Dengan hak yang telah disebutkan di atas, Lukman Hakim Saifuddin berhak untuk mengajukan gugatan yang berdasarkan pada Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang berbunyi, “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik”, di mana hal tersebut merupakan perbuatan yang dilarang.
Sejalan dengan itu, pelaku dapat dikenakan pidana sesuai ketentuan Pasal 45A UU ITE yang berbunyi, “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Dalam kasus yang menimpa Lukman Hakim Saifuddin tersebut, pelaku kejahatan dunia maya yang membajak e-mail beliau juga dapat diterapkan dengan pelanggaran Pasal 378 KUHP tentang penipuan yang berbunyi, “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat (hoendanigheid) palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, mengerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.”
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat. Perkembangan teknologi internet juga menyebabkan munculnya kejahatan yang disebut dengan Cyber Crime ( kejahatan melalui jaringan Internet) .