Pernikahan merupakan sebuah proses untuk menyatukan dua insan yang berbeda untuk menjadi satu (Andjariah, 2005).Hal itu sesuai dengan pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa(Indonesia, 1975). Pernikahan dianggap sebagai proses menjalani kehidupan yang baru. Hal tersebut disebabkan pasangan yang menikah akan menjalani proses yang berbeda dari sebelum menikah, baik itu dalam hal kehidupan,keuangan,penyatuan dua keluarga yang berbeda serta saling konsisten menyatukan dan menjalani komitmen yang di butuhkan bersama. Pernikahan memiliki beberapa manfaat penting dalam kehidupan seseorang.
Setiap orang menginginkan pernikahan yang penuh dengan kebahagiaan dalam menjalankan peran sebagai suami istri. Pada pasangan suami-istri,mereka berusaha untuk memecahkan masalah dan melewati tantangan tersebut untuk tetap menjaga hubungan pernikahan dan menjaga komitmen yang sudah dibuat pada saat memutuskan menikah. Pasangan suami-istri memerlukan kedekatan emosi sebagai teman hidup yang utuh sebagai pasangan suami-istri. Menurut Yuniariandini (2016),berteman dengan pasangan adalah salahsatu dari banyak cara untuk membuat pernikahan yang bahagia. Pasangan yang telah menikah terlihat lebih bahagia dibandingkan dengan pasangan yang belum menikah. Hal itu disebabka.oleh komitmen dan tanggung jawab yang dipikul bersama. Menurut Taylor (1997)komitmen perkawinan adalah semua kekuatan, yang menjaga individu tetap bersama dalam hubungan.
Pasangan suami isteri yang menjalankan hubungan komunikasi secara baik akan meningkatkan kebahagiaan. Menurut Yoseph (1994),suami-istri harus mampu menciptakan komunikasi yang harmonis dalam keluarga, sebab komunikasi harmonis akan memungkinkan adanya saling pengertian dan ketulusan terbadap segala aspek kehidupan itu sendiri.
Seseorang yang menikah lebih bahagia dibandingkan dengan yang tidak menikah. Seligman (2002) mengatakan bahwa pernikahan sangat berkaitan erat dengan kebahagiaan. Selain itu Stutzer dan Frey (2006) menyatakan bahwa.kesejahteraan seseorang yang menikah juga meningkat jika dibandingkan dengan yang belum menikah. Dari pernyataan kedua tokoh tersebut, kami menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan kebahagiaan antara individu yang telah menikah dengan individu yang belum menikah. Lebih lanjut, kebahagiaan individu yang sudah menikah lebih tinggi dibandingkan dengan yang belum menikah.
Terdapat beberapa penelitian tentang kebahagiaan pasangan yang sudah menikah, namun juga ada beberapa hasil survei yang menjelaskan tentang perbedaan kebahagiaan pasangan yang sudah menikah dengan yang belum menikah. Penelitian terbaru menyebutkan jika pernikahan merupakan faktor terpenting dalam mendapatkan kebahagiaan. Hasil survei yang dikutip dari media portal daring Susita(2019), survei yang dilakukan oleh Office for National Statistics (ONS;dalam Susita, 2019) menunjukkan status pernikahan berada di urutan kedua, setelah kesehatan yang dianggap sebagi alasan paling utama mengapa orang merasa bahagia dengan nilai kepuasan hidup mereka 9,9 persen lebih tinggi dibanding duda atau janda dan8,8 persen lebih tinggi dari mereka yang telah bercerai atau berpisah dari pasangan. Di sisi lain, mereka yang lajang merasa lebih bahagia 0,2 persen dibanding mereka yang telah bercerai atau berpisah.
Hasil survei lainnya ialah sebagaimana yang dikutip dari media portal daring yang ditulis oleh Karo (2015).Survei tersebut merupakan survei yang dilakukan oleh Universitas Warwick yang mengungkapkan bahwa 60 persen pasangan menikah mengaku lebih bahagia dibandingkan saat masih melajang (Karo, 2015). Hal ini dikarenakan individu yang telah menikah mengalami peningkatkan perasaan puas dan lebih mudah melewati masa-masa stress (Karo, 2015).
Di sisi lain, Hori dan Kamo (2018) memaparkan bahwa untuk budaya Asia perbedaan gender merupakan hal yang masih dipertimbangkan di masyarakat hingga saat ini. Dalam konteks tradisional, peran di ranah publik pada laki-laki cenderung lebih mendominasi di masyarakat (Hori & Kamo, 2018), sehingga hal itu akan memengaruhi kebahagiaan laki-laki dan masyarakat ketika hidup di masyarakat.
Sejalan dengan pemaparan Hori dan Kamo (2018), Eagly dan Karau (2002) menjelaskan bahwa perbedaan peran gender di masyarakat bermula dari perbedaan jenis yang menjadi standar norma yang berlaku di masyarakat. Norma yang berada di masyarakat memengaruhi ‘bagaimana seharusnya berperilaku’, yang di dalamnya menyangkut pekerjaan yang sesuai, sifat yang harus melekat, dan ekspresi emosi yang seharusnya terdapat pada masing-masing laki-laki dan perempuan. Individu yang tidak menerima norma tersebut seringnya mengalami kekerasan gender (Eagly & Karau, 2002). Berdasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Garcia-Retamero dan López-Zafra (2006), perempuan lebih sering menerima dampak negatif dari nilai tradisional yang berbasis gender.
Dalam perspektif sosial-masyarakat, Zweig(2015) menemukan bahwa perempuan lebih bahagia daripada laki-laki. Hal itu disebabkan perempuan lebih merasa puas dengan tingkat pendidikan mereka (meskipun pendidikan mereka tidak tinggi), keluarga, pertemanan, dan penghasilan (Casas et al., 2007).
Partisipan penelitian. Partisipan peneltian ini merupakan sivitas akademika pada salah satu Universitas di Kabupaten Sumbawa (N = 201). Berdasarkan pada status pernikahan partisipan (M= 1,08; SD= 0,28), sebanyak 184 (91,5%) partisipan dengan status belum menikah dan 17 (8,5%) partisipan sudah menikah. Partisipan dari latar belakang suku yang berbeda-beda dengan perincian Jawa (42 orang;20,9%), Samawa (52 orang;25,9%), Bugis (20 orang;10%), Sunda (13orang;6,5%), Mbojo/Bima (6 orang;3%), Kaili (2 orang;1%), Batak (4 orang;2%), Melayu (6 orang;3%), Betawi (4 orang;2%), Sasak (8 orang; 4%), dan Banggai (4 orang;2%). Selain itu, terdapat beberapa partisipan dari beberapa sukudi Indonesia dengan jumlah partisipan masing-masing satu, yakni: Singkil, Banjar, Minangkau, Flores, Cia cia, Tolaki, Saluan, dan tidung (8 orang;4%). Sisanya, partisipan berasal dari orang tua dengan latar belakang suku yang berbeda (N = 14;7%) dan partisipan yang tidak menyebutkan identitas suku (N = 18;9%).
Lebih lanjut, partisipan juga dengan latar belakang demografis, laki-laki sebanyak 88 orang (53,8%) dan perempuan sebanyak 113 orang (56,2%). Sementara itu, untuk latar belakang pekerjaan, terdapat 163 orang (81,1%) mahasiswa, 19 orang (9,5%) dosen, dan 19 orang (9,5%) tenaga kependidikan.
Alat ukur. Pengukuran kebahagiaan menggunakan alat ukur kebahagiaan yang telah dikembangkan oleh Hills dan Argyle (2002). Alat ukur tersebut ialah the Oxford Happiness Questionnaire(TOHQ; Hills & Argyle, 2002). Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya, sehingga TOHQ yang digunakan menggunakan hasil adaptasi dari Darmayanti et al.(2020) dengan = 0,91. TOHQ yang digunakan pada penelitian ini melibatkan 23 item setelah proses uji validitas dan reliabilitas dengan D = 0,35-0,75 yang mengindikasikan bahwa item tidak perlu direvisi hingga berfungsi cukup memuaskan (Crocker & Algina, 1986; Urbina & Anastasi, 1997).
Sumber : https://ejournal.kemensos.go.id/index.php/jpks/article/view/2125
Link Google Scholar: https://scholar.google.com/citations?view_op=view_citation&hl=id&user=suFMU58AAAAJ&citation_for_view=suFMU58AAAAJ:2osOgNQ5qMEC